Jangan Gagal Paham Budaya Risiko

Bantul (26/6) - Budaya risiko merupakan nilai, keyakinan, pengetahuan dan pemahaman tentang risiko yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang untuk sebuah tujuan bersama, khususnya pimpinan dan pegawai dalam sebuah organisasi. Perwakilan BPKP DIY melaksanakan kegiatan Library Café (LC) bertema “Budaya Risiko, Jangan Gagal Paham” yang tidak hanya diikuti oleh pegawai BPKP DIY, tetapi juga secara daring oleh mitra kerja, seperti Inspektorat Kota Yogyakarta, Kab. Kebumen, Kab. Bantul, Kab. Magelang, Kab. Klaten,  Kab. Gunungkidul, Kab. Kulon Progo, Kab Sleman, Kab Purworejo, BKKBN, KPU Magelang, Kanwil Kumham, dan SPI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

 

Kegiatan dibuka oleh Kepala Perwakilan BPKP DIY Slamet Tulus Wahyana yang menyampaikan pentingnya budaya risiko. Menurutnya, di era serba online, risiko dapat berubah dan bisa menghambat pencapaian tujuan organisasi. Untuk itu, kita perlu meningkatkan diri untuk selalu sadar risiko.

Acara LC kali ini dipandu oleh host Fourita Mei dengan menghadirkan influencer yang telah berpengalaman di birokrasi, yaitu Mutia Rizal, Auditor BPKP yang sedang menjalani tugas belajar S3 Ilmu Administrasi Publik UGM sekaligus Editor Eksekutif birokratmenulis.org dan analis post-birokrasi.

Mutia Rizal menjelaskan bahwa budaya risiko ini mengingatkan bahwa di organisasi ada beberapa sudut yang harus kita waspadai, yaitu adanya risiko di berbagai hal. "Sistem Pengendalian Internal Pemerintah telah kita jalankan, namun permasalahan terbesar ada di Manajemen Risiko. Nah budaya risiko ini dijalankan dalam rangka manajemen risiko. Tantangan Manajemen Risiko itu sendiri adalah bagaimana memahamkan, menyadarkan, dan menggerakkan seluruh anggota organisasi akan risiko serta menciptakan budaya dalam organisasi," jelasnya.

Budaya risiko merupakan nilai, keyakinan, pengetahuan, dan pemahaman tentang risiko yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang untuk sebuah tujuan bersama, khususnya pimpinan dan pegawai dalam sebuah organisasi. Mutia Rizal menjelaskan banyak jebakan dalam organisasi yang terkadang mengintepretasikan budaya itu harus dimulai dengan paksaan agar menjadi terbiasa, lalu akhirnya terbiasa dipaksa. "Hal ini menjadi salah kaprah, di mana pegawai merasa terperdaya, bukan berdaya. Budaya risiko semestinya dibangun dengan nilai-nilai sadar diri, pengendalian diri, kebersamaan, dan terbuka akan komplain," jelasnya.

Keberhasilan budaya risiko ditandai dengan indikator setiap pegawai mampu menjelaskan risiko komunitas dan mitigasinya. Hilangkan paksaan dan ciptakan cara alternatif dalam mempercepat pengembangan budaya sadar risiko secara alami, yaitu dengan membentuk komunitas risiko, melibatkan seluruh anggota komunitas dalam setiap proses, demokrasi deliberatif (melalui konsensus), menyusun daftar risiko (risiko prioritas) setiap komunitas dapat terlihat oleh siapa saja, dan menciptakaan gimmick agar setiap komunitas berlomba memitigasi risiko.

Pada sesi kedua dibuka tanya jawab dan peserta dengan antusias menyampaikan pertanyaan antara lain bagaimana mengimplementasikan budaya risiko di lingkungan organisasi di tengah aturan-aturan yang harus dikedepankan. Mutia Rizal menjelaskan bahwa formal aturan tetap diperlukan untuk menetapkan batas-batas, karena kita negara hukum. "Aturan tidak hilang, tapi sebaiknya diperlebar sehingga mengurangi keterpaksaan dengan diiringi upaya menumbuhkan kesadaran agar terbentuk budaya risiko di mana setiap orang memahami, menyadari, peduli, dan terbuka, menciptakan kebersamaan dalam pengendalian risiko yang telah disepakati bersama," jawab Mutia Rizal.

(Kominfo BPKP DIY/@nis)