Sudahkan Utang Pemerintah Berdampak Pada Pertumbuhan Ekonomi Nasional?

“Masyarakat tidak akan anti utang jika penggunaan utang pemerintah dapat memberikan multiplier effect terhadap pertumbuhan perekonomian dan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat”.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Aviliani seorang pakar ekonomi yang menjadi salah satu narasumber dalam acara Diskusi Panel Evaluasi Pengelolaan Utang Pemerintah yang dilaksanakan oleh Deputi Perekonomian BPKP. Diskusi bertempat di Hotel Bumi Karsa Bidakara Jakarta hari Sabtu tanggal 5 Desember 2009 dengan menghadirkan narasumber pakar ekonomi, Aviliani dan CEO PT Pefindo, Kahlil Rowter dengan pembahas Direktur Surat Utang Negara, Ditjen Pengelolaan Utang Depkeu, Bhimantara Widyajala. Diskusi panel kali ini merupakan yang keduakalinya terkait evaluasi pengelolaan utang pemerintah yang sedang dilaksanakan BPKP atas permintaan Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani dan Kepala Bappenas, Paskah Suzetta. Deputi Kepala BPKP Bidang Perekonomian, Binsar H Simanjuntak dalam kata sambutan berharap diskusi panel ini dapat menjadi penyeimbang dan dapat memperkuat hasil evaluasi BPKP. Menurutnya, hasil akhir dari evaluasi pengelolaan utang pemerintah, adalah memberi masukan kepada pemerintah atas efektifitas kebijakan utang pemerintah yang telah berjalan serta rekomendasi kebijakan utang pemerintah kedepan. Aviliani berpendapat, terdapat beberapa factor yang menyebabkan utang pemerintah tidak efektif yaitu, satu, konsep pembangunan jangka panjang pemerintah tidak jelas dan terarah. Ia pun mencontohkan Negara maju seperti China saja, rasio belanja terhadap GDPnya mencapai angka 8 % sementara Indonesia justru turun menjadi 3 %. Hal ini berarti, belanja pemerintah selama ini tidak memberikan kontribusi maksimal terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, utang banyak selama memberikan multiplier effect terhadap pertumbuhan ekonomi adalah lebih baik daripada utang kecil tapi tidak memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Kedua, intensifikasi pendapatan pajak belum dapat dicapai. Ketiga, Pemanfaatan utang pemerintah belum mempertimbangkan pendapatan yang diperoleh dari penggunaan utang yang akan digunakan untuk payback utang. “ Pemerintah kedepan harus merevieu kebijakan pengeluaran atau belanja yang dilaksanakan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.” Kata Aviliani. Menurutnya, tingkat inefisiensi pengeluaran per departemen/lembaga/daerah sangat besar dan tidak memiliki arahan yang jelas. Keempat, hambatan regulasi dan penegakan hukum yang justru menghambat pertumbuhan sector riel karena masing-masing pelaku pasar baik pemerintah maupun swasta takut salah. Iapun menyadari permasalahan utang luar negeri pemerintah cukup kompleks karena pemerintah dihadapkan pada intervensi lender dimana ada kecenderungan pemerintah Indonesia tidak memilki kekuatan dalam bernegosiasi. Disamping itu, Aviliani juga berpendapat kalau selama ini, urgensi utang luar negeri tidak didukung perencanaan yang matang. Aviliani mengungkapkan kekhawatirannya kalau pemerintah justru tidak memperhatikan risiko yang ditimbulkan utang luar negeri terhadap perekonomian nasional. Menanggapi kondisi diatas, Kahlil Rowter menekankan, perlunya pemerintah Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pembiayaan dari sumber utang luar negeri dan lebih mengoptimalkan pinjaman dalam negeri dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN). “ Lebih baik pinjam kepada bangsa sendiri daripada kepada Negara lain” ungkap Kahlil Menurutnya, rasio utang suatu negara minimal harus sama dengan GDP. Artinya tidak masalah melakukan utang selama dikelola dengan baik. Iapun berpendapat kalau penggunaan SUN sebagai sumber pembiayaan APBN belum maksimal. Namun iapun menyadari terdapat permasalahan dalam pengelolaan SUN yang menyebabkan pengelolaan SUN menjadi tidak efisien dan efektif antara lain , pergerakan harga yang sangat tajam, belum adanya fungsi treasui SUN, konflik kepentingan antara issuer SUN dengan manajer fiscal. Menurutnya, pemerintah Indonesia sebaiknya melakukan analisis perbandingan biaya dan risiko antara penggunaan utang luar negeri dan penerbitan SUN. “Saat ini sudah tidak zamannya lagi menggunakan utang luar negeri” ujarnya. Kedepan, Kahlil menyarankan agar dimulainya fungsi treasuri di Departemen Keuangan untuk meningkatkan efisiensi manajemen SUN dan manajemen utang dilakukan secara independen untuk menghindari konflik kepentingan. (Nani Humas)