“Para Koruptor Belum Jera”

Ungkapan tersebut mengemuka saat “Sosialisasi Penanganan Tindak Pidana Korupsi (TPK)” di Pendopo Kabupaten Klaten. Sosialisasi terselenggara hasil kerja sama Pemda Kabupaten Klaten, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Kepolisian Daerah Jawa Tengah, dan Perwakilan BPKP Provinsi Jawa Tengah. Acara dihelat setengah hari, diikuti 250 peserta dari DPRD, SKPD, Camat, Perguruan Tinggi, LSM, Asosiasi, dan unsur lainnya.

Acara tersebut menghadirkan pembicara Asisten Pidana Khusus Kejati Jateng Uung Abdul Syakur, Kanit Tindak Pidana Korupsi Polda Jateng Kompol Suhartono, dan Kabid Investigasi Perwakilan BPKP Jateng Sumitro. Dalam sambutan Bupati Klaten Sunarna, yang dibacakan Wakil Bupati Samiadji, mengharapkan, sosialisasi ini dapat menyamakan persepsi dan pemahaman para peserta dalam kasus-kasus yang berindikasi TPK. “Termasuk, untuk mengikis kegamangan dan ketakutan para penyelenggara negara dan pelaksana kegiatan dalam merealisasikan anggaran,” jelas Wakil Bupati. Pernyataan Bupati itu mendapat tanggapan dari moderator Panijo, yang menambahkan, upaya pemerintah yang terus memburu dan memenjarakan para koruptor, dari pejabat tinggi negara sampai pegawai pelaksana ternyata belum memberikan efek jera. “Masih ada saja yang bermain,” lanjutnya. Bahkan, dengan modus yang semakin variatif. Pembicara pertama, Uung Abdul Syakur mengakui, budaya hukum di Indonesia memang masih lemah. Hal ini menyebabkan terjadinya kriminogen, yakni, faktor pemicu kejahatan yang sering terjadi di lingkup pengadaan barang dan jasa. “Kasus TPK terbanyak yang ditangani Kejaksaan, menimpa para pelaksana pengadaan dan rekanan,” akunya. Dia mengingatkan, cara mudah untuk menghindari TPK adalah dengan mematuhi Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta aturan perubahannya. (Terakhir, perubahan ke tujuh adalah Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007-red). Sementara itu, Sumitro dalam sosialisasi itu menerangkan, ada perbedaan mendasar antara masalah kasus dan perkara. Menurutnya, perbedaan ini perlu dipahami secara jelas. “Informasi yang diputuskan sebagai masalah ditangani BPKP di dukung penyidik, sedang kasus atau perkara ditangani penyidik yang di dukung BPKP,” terangnya. Pada posisi itu, BPKP sebagai auditor antara lain, melakukan perhitungan kerugian negara melalui tahap-tahap pemeriksaan yang ketat. Hal itu tentu akan mempengaruhi waktu penanganan kasus korupsi. “Kadang perlu waktu yang lama. Tapi bukan berarti lambat,” tukasnya. Karena, untuk menghitung suatu kerugian negara harus secara komprehensif dan tidak boleh gegabah. Disinggung pula oleh Sumitro, tentang penandatanganan nota kesepahaman antara Jaksa Agung, Kapolri dan Kepala BPKP di Istana Wakil Presiden yang telah ditindak lanjuti dengan penandatanganan serupa di tingkat provinsi beberapa waktu lalu. Yakni, antara Perwakilan BPKP Jateng dengan jajaran Kejaksaan dan Kepolisian di Jawa Tengah. Implikasi kerjasama itu adalah dibentuknya semacam clearing house, yang berfungsi memberikan justifikasi atas kejadian, apakah merupakan ranah non justicia atau pro justicia. “Sebelum dilakukan langkah lebih lanjut oleh penyidik,” imbuhnya. Berikut, pembicara terakhir, Kompol Suhartono, mengungkapkan, setiap tahun pengaduan TPK yang masuk ke kepolisian mengalami peningkatan, walau pun kesemuanya tidak selalu terbukti benar. “Jumlah yang ditangani, dan dinyatakan P21 (sudah lengkap untuk diajukan ke pengadilan-red), sejak tahun 2001 mencapai 68 dari 87 perkara,” ungkapnya. Dikemukakan Suhartono, penyebab awal terjadinya TPK didasari adanya kombinasi niat dan kesempatan. Sehingga, pencegahan dan pemberantasan korupsi harus diawali dari diri sendiri. “Tindakan membuat SPPD fiktif, kwitansi fiktif, mark up, dan menerima fee dari rekanan merupakan modus operasi yang sering dijalankan koruptor,” katanya. Dia melanjutkan, seluruh peserta agar meninggalkan kebiasaan-kebiasaan kecil korupsi, untuk mencegah tindakan yang lebih besar, jika kelak mempunyai jabatan yang lebih tinggi. Acara sosialisasi berjalan lancar dan sukses, hal tersebut dapat dilihat dari antusias para peserta yang hadir dan mengikuti sampai akhir acara serta banyaknya minat bertanya dari peserta sosialisasi. (Ntsir/Hart)