Tindak Korupsi di NTT Lebih Vulgar

Korupsi memang terjadi dan dilakukan oleh aparat pemerintah di tempat lain, namun di Nusa Tenggara Timur (NTT), pelakunya lebih nekat, vulgar, atau main babat saja, demikian dikatakan Martinus Suwasono, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi NTT

Korupsi memang terjadi dan dilakukan oleh aparat pemerintah di tempat lain, namun di Nusa Tenggara Timur (NTT), pelakunya lebih nekat, vulgar, atau main babat saja, demikian dikatakan Martinus Suwasono, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi NTT, sebagaimana dilansir oleh Harian Kompas hari ini, Senin, 10 November 2003. Dalam kesempatan yang sama, Martinus, sebagaimana dilansir Harian Suara Karya hari ini, Senin, 10 November 2003, menandaskan bahwa saat ini, “tak ada lagi perasaan malu mencuri uang negara dan menikmati fasilitas kedinasan untuk urusan keluarga dan kepentingan pribadi. Sikap pelaku korupsi yang nekat dan vulgar ini seperti sudah membudaya di NTT.” Celakanya, pelaku korupsi tersebut sering bebas dari jeratan hukum, meski hasil audit internal menunjukkan adanya kerugian pada keuangan negara. Menurut Martinus, selama 4 tahun bertugas di NTT, kasus korupsi relatif lebih banyak, cenderung meningkat, dibandingkan periode sebelumnya. Untuk 2003, tercatat 30 obyek pemeriksaan yang diminta tim penyidik (jaksa dan polisi) untuk diperiksa. Contoh kasusnya adalah kasus rumpon di Belu dengan nilai Rp 4,3 milyar, rumpon di Kupang Rp 3,8 milyar, kasus Rumah Sakit Umum Kupang Rp 5,3 milyar, dan Proyek Sarana Kesehatan Rp 15 milyar. Catatan Kompas juga menunjukkan adanya kasus lain, seperti kasus Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Rp 20 milyar dan dan Gakin 2001-2003 Rp 7,4 milyar, dan dugaan kasus korupsi dana sejumlah proyek So’e Rp 37 milyar. Masih ada kasus cukup besar, namun belum diaudit oleh BPKP. Kasus itu adalah dana bantuan Jepang sebesar Rp 53 milyar untuk pengungsi eks Timor Timur, meskipun Gubernur NTT Piet A. Tallo pada saat memberikan pembekalan kepada anggota DPRD NTT, 17 Oktober 2003, mengatakan telah meminta BPKP untuk mengauditnya. Hal ini ternyata tidak dibantah oleh Martinus, yang mengatakan bahwa permintaan audit terhadap pemakaian dana Rp 53 milyar tersebut belum pernah ada. Lebih lanjut, sebagaimana diberitakan Kompas, Martinus mengaku tidak habis pikir melihat maraknya kasus penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian pada keuangan negara (korupsi). “Banyak tindakan yang memenuhi unsur tindak pidana korupsi, tetapi dalam kenyataan sehari-hari tampak berjalan biasa-biasa saja,” demikian kata Martinus kepada Harian Kompas. Menurut Martinus, sebagaimana dinyatakannya kepada wartawan dan dikutip oleh Harian Suara Karya, budaya korupsi di NTT bisa diberantas, jika semua pihak mau bergandengan tangan untuk melakukannya secara bersama-sama. “Selagi kondisi kita masih tetap begini, yang selalu terpaut dengan kepentingan di sana sini, seseorang yang jelas-jelas terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi pun, bisa dihukum bebas oleh majelis hakim. Ini realita penegakan hukum kita di Indonesia yang tidak bisa kita pungkiri,” tegas Martinus.