Perwakilan BPKP Provinsi Jawa Tengah

PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

Oleh : Sukarno W Sumarto

Pendahuluan

Sudah lebih dari dua dasawarsa bangsa Indonesia memasuki era reformasi, yaitu munculnya gerakan perubahan dan perbaikan secara drastis tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan hukum, salah satunya tuntutan reformasi tentang pemerintahan yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Dalammewujudkan penyelenggaraan Negara yang bersih, mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab, perlu diletakkan asas-asas penyelenggaraan negara, sehingga diperlukan landasan hukum untuk pencegahannya. Produk legislasi pertama kali era reformasi menghasilkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Dalam penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) terdapat tiga pilar utama yang perlu dibangun, yaitu transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Transparansi berarti bentuk keterbukaan pemerintah dan organ-organnya kepada masyarakat/publik, sehingga masyarakat dapat memantau proses/arus kerja pemerintah. Akuntabilitas diartikan sebagai bentuk pertanggungjawaban seseorang atas hasil kerja/tugas dan kewajibannya. Sedangkan partisipasi di sini adalah partisipasi masyarakat/publik atau keikutsertaan masyarakat dalam setiap pengambilan kebijakan oleh pemerintah, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengawasan.

Dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi, dan dengan berbagai tuntutan dari masyarakat, pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam perjalanan pelaksanaan Undang-undang tersebut, telah dilakukan perubahan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Semua pihak telah maklum bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Kondisi Penegakan Hukum di Indonesia

Bahwa upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia belum dapat dirasakan keefektifannya dan belum dilaksanakan secara optimal, sehingga perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan, tentunya karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Berhubung lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum sepenuhnya berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi, maka dibentuklah lembaga Ad Hoc yaitu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Lembaga tersebut bersifat independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Dibandingkan dengan aparat penegak hukum yang lain (Kepolisian dan Kejaksaan), Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas yang lebih luas dalam penindakan korupsi, yaitu melakukan pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi; melakukan koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; serta melakukan monitoring terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Sebagai aparat penegak hukum, dalam penanganan tindak pidana korupsi, tugas dan tanggung jawab Kepolisian dan Kejaksaan adalah melakukan pemeriksaan dan penyidikan tindak pidana korupsi dengan berkoordinasi bersama Lembaga-Lembaga terkait. Lembaga Kepolisian dan Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum, berdasarkan peraturan perundang-undangan dituntut untuk berperan menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, penyelidikan dan penyidikan merupakan wewenang dari Kepolisian Republik Indonesia (Pasal 6). Sedangkan tugas Kejaksaan dalam proses penyidikan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Sebagaimana diuraikan diatas bahwa tugas dan tanggung jawab KPK lebih luas dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dibandingkan dengan aparat penegak hukum lainnya, maka tentunya sepak terjang KPK akan lebih dominan. Dominannya peran KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia menjadikan KPK mendapat kepercayaan lebih besar dari masyarakat daripada dua lembaga negara lainnya. Berdasarkan survey dari LSI Tahun 2019, bahwa KPK menjadi Lembaga yang paling dipercayai publik dengan tingkat kepercayaan 84%, disusul kemudian Presiden (79%), Kepolisian (72%), Pengadilan (71%), dan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR (61%). Hal ini tidak terlepas dari kinerja KPK sebagai lembaga independen yang dirasa mampu mempertahankan independensinya di tengah berbagai hempasan isu pelemahan dan kepentingan politik. Hal ini telah terbukti dengan adanya Revisi UU KPK dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK.

KPK menemukan ada 26 poin yang berpotensi melemahkan KPK dalam UU KPK hasil revisi yang telah disahkan oleh DPR. Juru Bicara KPK Febri Diansyah ketika itu mengatakan, 26 poin tersebut dianggap berpotensi melemahkan KPK lantaran mengurangi sejumlah kewenangan yang dahulu dimiliki KPK berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dua puluh enam poin ini dipandang sangat berisiko melemahkan atau bahkan bisa melumpuhkan kerja KPK. Karena beberapa kewenangan yang dikurangi adalah kewenangan pokok dalam melaksanakan tugas selama ini (Kompas.com).

Meningkatnya pamor KPK di mata masyarakat juga banyak ditunjang oleh pemberitaan mass media tentang makin masifnya operasi tangkap tangan (OTT). OTT yang dilakukan secara mendadak dan melibatkan aktor/tokoh penting di tanah air misalnya kepala daerah, menteri atau anggota legislatif, sehingga mampu menarik simpati dan perhatian masyarakat, terutama masyarakat yang peduli terhadap pemberantasan korupsi. Sepanjang tahun 2016 – 2019 telah dilakukan 87 operasi tangkap tangan dengan tersangka awal sebanyak 327 orang. Selama empat tahun kegiatan OTT, kasus paling banyak terjadi pada tahun 2018, yakni sebanyak 30 kasus dengan 121 tersangka. OTT juga dapat menjadikan petunjuk untuk membongkar kasus-kasus lainnya yang terjadi, dan bukan hanya fokus pada perkara pokok.

OTT yang dilakukan KPK merupakan bagian dari upaya efektivitas pembuktian dalam persidangan. Dan sampai saat ini sudah tidak terhitung berapa jumlah pejabat negara dan penyelenggara negara yang menjadi korban operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK maupun aparat penegak hukum lainnya. Walau demikian, tindakan tersebut belum juga menyurutkan niat para penyelenggara/pejabat negara untuk melakukan tindakan curang/korupsi.

Sebelum mengakhiri jabatan, pimpinan KPK periode 2015 - 2019 menyampaikan hasil capaian KPK dalam berbagai tugasnya. Dari fungsi pemantauan dan pencegahan korupsi, KPK telah menyelamatkan potensi kerugian negara dan atau pendapatan negara yang totalnya Rp 63,8 triliun di masa kepemimpinannya. Penyelamatan keuangan negara dari gratifikasi selama 4 tahun, baik berbentuk barang dan uang senilai Rp159,3 miliar terdiri dari Rp 40,56 miliar berupa uang dan Rp 118,77 miliar berupa barang.

Di bidang penindakan tercatat dalam limatahun terakhir, KPK melakukan 604penyelidikan, 551penyidikan, 510penuntutan, 457inkracht, dan 476eksekusi . Selain itu ada pula korporasi yang berhasil dijerat KPK sebagai tersangka. Ini merupakan catatan sejarah bagi KPK yang sebelumnya tidak bisa mengusut korporasi sebagai tersangka.

Berikut Laporan Tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah dipublikasikan di bidang penindakan, yang mencakup penyelidikan, penyidikan, penuntutan, putusan (inkracht) dan eksekusi sebagai berikut:

Penindakan

2017

2018

2019

2020

2021

Jumlah

Penyelidikan

123

164

79

111

127

604

Penyidikan

121

199

63

63

105

551

Penuntutan

103

151

73

75

108

510

Inkracht

84

104

87

92

90

457

Eksekusi

83

113

78

108

94

476

Total

514

731

380

449

524

2.598

Sumber : Laporan Tahunan KPK

Dari laporan Pemantauan Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2021 yang dikeluarkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), pada institusi Kejaksaan memperlihatkan bahwa untuk bidang penindakan selama lima tahun terakhir kinerjanya mengalami fluktuasi.  Pola peningkatan penindakan kasus korupsi pada aspek jumlah kasus dan tersangka yang ditetapkan, serta nilai kerugian negara yang ditimbulkan mengalami peningkatan. Nilai kerugian negara terbesar yang ditangani oleh Kejaksaan adalah dalam kasus korupsi PT. Asabari yang menelan kerugian negara hingga Rp 22.780.000.000.000 (Rp 22,78 triliun).Kejaksaan selama tahun 2021 menangani sebanyak 371 kasus dengan 814 orang ditetapkan sebagai tersangka. Jika dibandingkan antara target dengan realisasi penindakan kasus korupsi, maka secara umum kinerja Kejaksaan masuk dalam kategori B atau Baik karena persentasenya sekitar 64,8%. Namun bila dihitung, rata-rata kasus yang ditangani oleh Kejaksaan per bulan yakni 31 kasus, artinya masih ada sejumlah kejaksaan di daerah yang diduga belum melakukan penangan kasus korupsi sama sekali.Berdasarkan hasil pemantauan diketahui terdapat 5 (lima) aktor yang paling dominan ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan, yaitu ASN (242 orang), pihak swasta (159 orang), Kepala Desa (101 orang), Dirut/Karyawan BUMD (60 orang) dan Aparatur Desa (58 orang). Sementara terdapat sejumlah aktor dari latar belakang politik, diantaranya Ketua/Anggota DPRD (11), Bupati/Wakil Bupati (5 orang), dan Ketua/Anggota DPR (2 Orang). Dalam kasus korupsi PT. Asabri, Kejaksaan Agung juga telah menetapkan 10 korporasi menjadi tersangka. Hal ini patut diapresiasi.

Lain halnya dengan Kepolisian, berdasarkan hasil pemantauan terhadap kinerja Kepolisian, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, kinerja korps Bhayangkara tersebut justru mengalami penurunan baik dari sisi jumlah kasus maupun jumlah tersangka yang ditetapkan. Target penanganan perkara korupsi yang dilakukan oleh Kepolisian selama tahun 2021 adalah sebanyak 1.526 kasus. Dari segi personil, jumlah institusi Kepolisian di seluruh Indonesia sebanyak 517 kantor yang terdiri dari 1 (satu) Direktorat Tindak Pidana Korupsi di tingkat nasional, 34 Polda di tingkat Provinsi, 483 Polres di Kabupaten/Kota. Setiap Kepolisian yang berada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota diwajibkan menangani perkara korupsi, jumlahnya bervariasi, minimal satu kasus, maksimal 75 kasus. Sedangkan di Bareskrim Mabes Polri, target penanganan perkara yang harus dicapai sebanyak 25 kasus per tahun. Berdasarkan hasil pemantauan ICW, Kepolisian pada tahun 2021 hanya menangani sebanyak 130 kasus dengan 244 orang ditetapkan sebagai tersangka. Jika dibandingkan antara target dengan realisasi penindakan kasus korupsi, maka secara umum kinerja Kepolisian masuk dalam kategori E atau Sangat Buruk karena persentasenya hanya sekitar 8,45 persen. Dibandingkan dengan Kejaksaan dan KPK, Kepolisian mempunya sumber daya yang melimpah baik dari segi anggaran maupun personil. Berdasarkan hasil pemantauan diketahui bahwa Kepolisian paling sering menggunakan pasal mengenai kerugian keuangan negara dalam menindak kasus korupsi. Ada sebanyak 121 kasus korupsi atau sekitar 94,5% yang ditindak menggunakan pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor. Selain itu, untuk beberapa kasus sisanya, Kepolisian menggunakan pasal suap menyuap (3 kasus), dan pemerasan (2 kasus), pencucian uang (2 kasus) gratifikasi (1 kasus), dan benturan kepentingan dalam pengadaan (1 kasus). Terdapat 5 (lima) aktor yang paling dominan ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian, yaitu ASN (73 orang), Kepala Desa (57 orang), Swasta (37 orang), Aparatur Desa (28 orang), dan Dirut/ Karyawan BUMD (17 orang). Dari sisi aktor, Kepolisan tidak sama sekali menindak aktor politik sebagai tersangka kasus korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa Kepolisian belum dapat menyasar hingga aktor kunci. Secara pola, pejabat di tingkat Desa, baik Kepala Desa maupun Aparatur Desa paling banyak ditangkap oleh Kepolisian.

Organisasi Transparency Internasional telahmerilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Tahun 2021, termasuk diantaranya Indonesia. Skor IPK Indonesia tercatat meningkat 1 poin menjadi 38 dari skala 0-100 pada 2021. Nilai yang meningkat ini turut mengerek posisi Indonesia lebih baik dalam urutan IPK global. Indonesia kini berada di urutan 96 dari 180 negara dari sebelumnya peringkat 102.IPK Indonesia sempat menyentuh nilai tertingginya sebesar 40 pada Tahun 2019. Kenaikan skor ini salah satunya dipicu penegakan hukum yang tegas kepada pelaku suap dan korupsi. Sementara penurunan skor dipicu maraknya suap dan pungutan liar pada proses ekspor-impor, pelayanan publik, pembayaran pajak tahunan, hingga proses perizinan dan kontrak. Peningkatan skor ini menunjukkan perjuangan pemerintah dan KPK dalam memberantas korupsi membawa efek positif.Nilai tersebut turun 3 poin menjadi 37 padaTahun2020.Skor 0 artinya negara tersebut sangat korup, sebaliknya skor 100 menandakan negara tersebut bersih dari korupsi. Rata-rata IPK dunia tercatat sebesar 43. Nilai ini tidak berubah selama 10 tahun berturut-turut. Dua per tiga negara masih memiliki skor di bawah 50 yang mengindikasikan negara-negara tersebut memiliki masalah korupsi serius.Negara yang mempunyai skor dan rangking sama dengan Indonesia yaitu Argentina, Brazil, Turki, Serbia, dan Lesotho. Empat di antaranya, termasuk Indonesia, merupakan bagian dari G20 atau Group of Twenty.

Apabila dilihat dari tren gerakan skor IPK di Indonesia tersebut, cenderung sulit menembus skor 50 karena masih tingginya problem korupsi politik dan hukum. Kondisi itu, akan semakin sulit dicapai menyusul revisi UU KPK. Perubahan beleid atas KPK (UU 19/2019) dinilai melemahkan upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga anti rasuah. Sekarang initugas berat yang harus dituntaskan yaitu memutus relasi koruptif antara pejabat negara, pelayan publik, penegak hukum, dan pebisnis.Apabila ini berhasil, kondisi ini akan memberikan kontribusi paling besar dalam mengurangi korupsi. Pembenahan lembaga politik harus dilakukan secara sungguh-sungguh. Dalam waktu bersamaan, penguatan independensi KPK juga harus menjadi agenda utama.

Bila dilihat dari Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) yang telah dirilis oleh Badan Pusat Statistik dengan menggunakan skala 5, bahwa IPAK untuk tahun 2021 sebesar 3,83 meningkat sebesar 0,15 poin dibandingkan tahun 2020 sebesar 3,68. Sebaliknya, Indeks Pengalaman tahun 2021 sebesar 3,90 turun sedikit sebesar 0,01 poin dibanding tahun 2020 sebesar 3,91.Pada tahun 2021, menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan, perilaku anti korupsi makin baik. IPAK masyarakat dengan pendidikan yang ditamatkan di bawah SLTA sebesar 3,83; SLTA sebesar 3,92; dan di atas SLTA sebesar 3,99. IPAK masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan perdesaan masing-masing 3,92 dan 3,83. Dari sisi kelompok umur, masyarakat yang berumur 18-40 tahun paling anti korupsi dibanding kelompok umur lainnya. IPAK masyarakat berumur 18-40 tahun sebesar 3,89, umur 40-59 tahun sebesar 3,88, dan umur 60 tahun ke atas sebesar 3,87.

Apabila dilihat dari penyampaian hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) tahun anggaran 2021, menunjukkan adanya peningkatan perolehan Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL) dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Opini WTP juga diperoleh oleh Pemerintah Pusat atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2021, hal tersebut berkat dukungan dari meningkatnya kualitas Laporan Keuangan Audited tahun 2021dari Kementerian dan Lembaga, yaitu peningkatan jumlah Opini WTP dari LKKL yang pada tahun 2021ini yaitu sebanyak 83dari 87 jumlah keseluruhan Kementerian dan Lembaga atau 95,4%.Peningkatan capaian tersebut juga diikuti oleh pemerintah daerah.Hal tersebut disampaikan BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Laporan Keuangan Semester 1 Tahun 2022 kepada Ketua Dewan Perwakilan Daerah(DPD). Jumlah Pemerintah Daerah meraih Wajar Tanpa Pengecualian(WTP)sejumlah 500, Pemerintah Daerah meraih Wajar Dengan Pengecualian (WDP) sejumlah 38,dan Tiga Daerah Meraih Opini Tidak Menyatakan Pendapat (TMP).Capaian Opini WTP  pada tingkat Pemerintah Daerah telah melampaui target RPJMN 2020 - 2024, untuk Provinsi 92%, Kabupaten 80% dan Kota 92% di Tahun 2021. 

Menteri Keuangan telah memberikan penghargaan WTP tahun 2021 yang diberikan kepada 584 entitas pelaporan Kementerian/ Lembaga, dan Pemerintah Daerah, serta diberikan juga penghargaan kepada Kementerian/Lembaga/ Pemerintah Daerah yang memperoleh WTP minimal 5 kali berturut-turut, 10 kali berturut-turut, dan 15 kali berturut-turut.Capaian tersebut dapat terus dipertahankan dan ditingkatkan sehingga menjadi indikator bahwa tata kelola di seluruh K/L dan Pemda dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawab pemerintahan bisa dilaksanakan. Bagi K/L dan Pemda yang belum mendapat Opini WTP tentunya dapat melakukan langkah-langkah perbaikan yang efektif dan terukur dalam menyelesaikan dan menindaklanjuti temuan-temuan maupun rekomendasi BPK. Sehingga diharapkan seluruh K/L dan pemda dapat memperoleh Opini WTP dari BPK RI pada tahun anggaran 2022.

Bentuk lain dari upaya pengendalian korupsi adalah kewajiban seluruh K/L/D untuk mengimplementasikan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). SAKIP merupakan instrumen yang digunakan oleh instansi pemerintah dalam memenuhi kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi yang terdiri dari beberapa komponen yang merupakan suatu kesatuan yaitu perencanaan stratejik, perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, dan pelaporan kinerja.Kewajiban pelaporan kinerja (LAKIP) berpedoman pada Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 29 Tahun 2010 tanggal 31 Desember 2010 tentang Pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. LAKIP merupakan media pertanggungjawaban dalam rangka mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan dalam Rencana Strategis. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah diharapkan dapat memberikan gambaran secara lengkap mengenai pertanggungjawaban atas pemanfaatan sumber daya yang dikelola beserta seluruh pegawai yang berada dalam struktur di bawahnya dalam rangka menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Namun demikian, media inipun juga belum dapat menghambat laju penambahan pelaku tindak pidana korupsi.

Penyebab Masih Maraknya Korupsi

Kecurangan yang terjadi hampir di setiap bidang kehidupan masyarakat tidak terlepas dari motif/niat seseorang untuk mengambil hak orang lain untuk kepentingan pribadi atau kelompok, disamping adanya kesempatan untuk melakukan kecurangan. Demikian halnya kecurangan (korupsi) yang terjadi di berbagai negara di dunia tidak lepas dari penyebab, mengapa seseorang melakukan kecurangan/korupsi. Berikut gambaran teori kecurangan yang dikemukakan oleh beberapa ahli, diantaranya (http://triaokta97.blogspot.com/2016/11/perkembangan-lima-teori-fraud.html):

1.    Teori Triangle Fraud (Klasik)

Penelitian yang dilakukan oleh Donald Cressey pada tahun 1953 terhadap orang-orang yang pernah melakukan kecurangan didapatkan hasil bahwa orang yang melakukan fraud dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu:

a.    Pressure (Tekanan)

Orang melakukan kecurangan karena tekanan, yaitu dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan kecurangan (fraud). Tekanan terbagi menjadi tekanan finansial, tekanan akan kebiasaan buruk, dan tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan. Seseorang yang melakukan kecurangan pada umumnya karena adanya tekanan finansial. Hai tersebut muncul karena adanya keserakahan, standar hidup yang terlalu tinggi, banyaknya tagihan dan utang, kebutuhan hidup yang tak terduga. Tekanan akan kebiasaan buruk yaitu dorongan untuk melakukan kebiasaan buruk, seperti melakukan judi, alkohol, obat-obatan terlarang. Sedangkan tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan, bisa terjadi karena ketidakadilan dalam perusahaan, kurangnya perhatian oleh manajer. Pencegahan terjadinya kecurangan yang dikarenakan oleh faktor tekanan (pressure), misalnya dalam pengadaan barang dan jasa adalah dengan cara memperbaiki ekosistem pengadaan dan integritas Pejabat Pengadaan secara bersama-sama.

b.  Opportunity (Kesempatan)

Fraud terjadi karena seseorang memiliki kesempatan untuk melakukannya. Hal ini terjadi karena pengendalian internal pada perusahaan yang lemah, kurangnya pengawasan, atau penyalahgunaan wewenang.

Tindakan fraud atas dasar kesempatan bisa juga terjadi karena peraturan atau SOP yang lemah, berjalan tidak semestinya, kepercayaan berlebihan atau tidak adanya pemisahan kewenangan yang baik.

c.   Rasionalization (Rasionalisasi)

Rasionalisasi adalah seseorang mencari pembenaran atas tindakannya yang berhubungan dengan kecurangan atau fraud. Pada umumnya, seseorang yang melakukan kecurangan, merasa tindakannya bukan termasuk kecurangan, tetapi hal itu merupakan haknya atau biasanya orang tersebut melakukan fraud karena mengikuti orang-orang sekitar yang melakukan hal itu. Tindakan kecurangan atas dasar rasionalisasi ini biasanya ada empat hal yaitu :

·       Pembenaran diri sendiri

·       Attitude yang kurang baik

·       Karakter tidak jujur

·       Kurangnya integritas diri

Tindakan fraud dengan dasar pembenaran ini menyebabkan seseorang berperilaku serakah. Dalam pengadaan barang/jasa pencegahannya dengan cara meningkatkan penghasilan pegawai atau pengenaan sanksi yang tegas apabila terjadi kecurangan (fraud).

2. Fraud Scale

Teori fraud scale merupakan perkembangan teori dari teori sebelumnya yaitu teori fraud triangle. Dalam teori ini dapat mengetahui kemungkinan terjadinya tindakan fraud atau kecurangan dengan cara mengamati tekanan, kesempatan dan integritas pelaku yang akan melakukan fraud. Apabila seseorang memiliki tekanan yang tinggi, kesempatan besar dan integritas pribadi yang rendah, maka dapat memungkinkan terjadinya fraud yang tinggi, begitu pula sebaliknya. Tekanan disini terjadi karena masalah keuangan dan atau bisa karena masalah di lingkungannya. Adanya kesempatan untuk melakukan tindak kecurangan disebabkan karena lemahnya pengendalian maupun pengawasan organisasi. Sedangkan, integritas pribadi yang rendah disebabkan oleh kebiasaan individu yang buruk. Fraud Scale mempunyai tujuan untuk mengukur terjadinya pelanggaran etika, kepercayaan dan tanggung jawab. Kecurangan atau fraud ini biasanya mengarah pada penipuan laporan keuangan. 

3.   Teori GONE

Teori Gone merupakan teori yang dikemukakan oleh Bologna pada tahun 1999. Dalam teori ini terdapat empat faktor yang mendorong terjadinya fraud, yaitu: a. Greed (keserakahan), berkaitan dengan keserakahan potensial.

b. Opportunity (Kesempatan), berkaitan dengan keadaan dalam organisasi yang terbuka sehingga dapat membuka kesempatan untuk melakukan kecurangan.

c. Need (Kebutuhan), adalah suatu tuntutan kebutuhan individu yang harus terpenuhi.

d. Exposure (Pengungkapan), adalah berkaitan dengan kemungkinan diungkap-kannya serta sanksi hukum yang menjerat.

Menurut teori Gone kecurangan dapat terjadi dikarenakan adanya keserakahan didalam kekuasaan, adanya peluang untuk melakukan kecurangan, serta karena dihimpit oleh tuntutan hidup, baik berupa tuntutan primer seperti keluarga individu, maupun karena gengsi.

Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah

Dalam pemberantasan korupsi diperlukan kesamaan pemahaman mengenai tindak pidana korupsi itu sendiri, agar pemberantasan korupsi bisa dilakukan secara tepat dan terarah. Agar dapat berjalan lebih efektif, maka diperlukan beberapa strategi yang harus dilakukan secara bersamaan. Terdapat tiga strategi pemberantasan korupsi yang dirilis oleh Anti Corruption Learning Center (ACLC) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yaitu dengan melalui:

1.      Edukasi dan Kampanye, yaitu strategi pembelajaran pendidikan antikorupsi dengan tujuan membangkitkan kesadaran masyarakat mengenai dampak korupsi, mengajak masyarakat untuk terlibat dalam gerakan pemberantasan korupsi, serta membangun perilaku dan budaya antikorupsi. Tidak hanya bagi mahasiswa dan masyarakat umum, namun juga anak usia dini, taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Hal ini tentunya bertujuan agar generasi muda tidak akan mau melakukan korupsi.

2.      Perbaikan sistem, artinya sistem yang baik bisa meminimalisir terjadinya tindak pidana korupsi, karena banyak sistem yang diterapkan di Indonesia memberikan peluang untuk melakukan tindak pidana korupsi. Perbaikan sistem dimaksud misalnya:

a.   Mendorong transparansi penyelenggara negara, seperti yang dilakukan KPK menerima pelaporan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) dan juga gratifikasi.

b.   Memberikan rekomendasi kepada kementerian dan lembaga terkait untuk melakukan langkah-langkah perbaikan.

c.   Memodernisasi pelayanan publik dengan online dan sistem pengawasan yang terintegrasi agar lebih transparan dan efektif.

Dengan sistem yang baik maka orang tidak mudah lagi melakukan korupsi.

3.      Represif,yaitu upaya penindakan hukum untuk menyeret koruptor ke pengadilan. Hampir sebagian besar kasus korupsi terungkap berkat adanya pengaduan masyarakat. Pengaduan masyarakat merupakan salah satu sumber informasi yang sangat penting untuk diteruskan/ditindaklanjuti oleh KPK. Tahapan yang dilakukan adalah:

a.     Penanganan laporan pengaduan masyarakat (KPK melakukan proses verifikasi dan penelaahan);

b.     Penyelidikan;

c.      Penyidikan;

d.     Penuntutan; dan

e.     Eksekusi.

Upaya represif dalam melakukan deteksi dan penanganan kasus korupsi kepada para pelaku korupsi untuk memberikan shock terapy dan efek jera. Namun untuk mencegah terulangnya kejadian tersebut maka harus disertai dengan upaya preventif yang sistematis guna mengurangi peluang korupsi, mengekang pembenaran, dan menghambat niat dengan mengembangkan konsep represif untuk preventif.

Hasil kajian peningkatan peran BPKP dalam percepatan pencegahan dan pemberantasan korupsi yang dipublikasikan Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengawasan BPKP, menguraikan ke dalam tiga aspek atau strategi, yaitu pre-emptif, preventif, dan refresif. Ketiga aspek tersebut harus dilaksanakan secara simultan, yaitu, strategi pre-emptif dilaksanakan melalui jalur pendidikan anti korupsi, untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk mencegah serta memberantas korupsi; strategi preventif untuk mengendalikan faktor-faktor pendorong timbulnya tindak pidana korupsi, dengan melaksanakan diktum-diktum Inpres Nomor 5 tahun 2004 secara komprehensif, integratif, koordinatif, dan dilaksanakan secara serempak oleh pemerintah bersama-sama dengan masyarakat; sedangkan strategi represif dilakukan melalui penindakan secara tegas, tanpa pandang bulu, yang dilakukan secara proaktif dan konsisten oleh para penegak hukum, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kedua strategi diatas, walaupun terkesan tidak sama akan tetapi secara substansi tidak ada perbedaan. Karena sama-sama harus dijalankan secara simultan, dan sama-sama dalam rangka memperbaiki kultur masyarakat Indonesia melalui jalur formal dan informal. Kepedulian seseorang/individu perlu didorong agar lebih dapat berperan dalam memerangi upaya/kegiatan yang cenderung melakukan tindakan korupsi melalui upaya edukatif. Pengembangan sistem yang terintegrasi yang memungkinkan tertutupnya celah bagi pelaku korupsi termasuk faktor-faktor pendorong timbulnya korupsi, dan sistem yang dapat mencegah, menangkal, dan memudahkan dalam mendeteksi potensi kejadian korupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan, bahwa terdapat lima titik rawan korupsi dalam pengelolaan anggaran, yaitu perencanaan dan pelaksanaan APBD, pengadaan barang dan jasa, lemahnya pengawasan, manajemen SDM, dan perizinan atau pelayanan publik. Kasus fraud dana APBD menunjukkan peningkatan yang signifikan setelah pemerintah pusat mengalokasikan dana desa sejak tahun 2015. Besarnya alokasi belanja Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) yang digelontorkan menimbulkan potensi dan kekhawatiran terjadinya penyelewengan penggunaan anggaran ini. Salah satu penyebab korupsi adalah lemahnya sistem pengawasan intern instansi pemerintah. Hal ini semakin diperparah dengan banyaknya kasus korupsi yang menjerat Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). “Immune system” theory   mengibaratkan korupsi sebagai “virus” dan sistem pengawasan intern sebagai “immune system”. Teori ini menyatakan bahwa sistem pengawasan intern harus peka terhadap semua risiko dan  “virus”  yang dapat menghambat pembangunan ekonomi dan sosial suatu negara. Teori tersebut juga menekankan pada peran pencegahan dan restorasi daripada deteksi penyimpangan. Salah satu upaya pencegahan dan restorasi penyimpangan adalah dengan adanya identifikasi, analisis, dan membantu memitigasi risiko.

APIP adalah Aparat Pengawasan di lingkungan Instansi Pemerintah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi melakukan pengawasan, dan terdiri dari : Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang bertanggung jawab kepada Presiden; Inspektorat Jenderal (Itjen)/Inspektorat Utama (Ittama)/Inspektorat yang bertanggung jawab kepada Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND); Inspektorat Pemerintah Provinsi yang bertanggung jawab kepada Gubernur, dan; Inspektorat Pemerintah Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota.

Aparat pengawasan harus dianggap sebagai mitra kerja dari manajemen instansi pemerintah. Tujuan keberadaan aparat pengawasan adalah untuk memberikan keyakinan yang memadai bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Namun demikian, tidak sedikit kasus penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh APIP, misalnya Inspektur Kabupaten Pamekasan menjadi salah satu aktor dalam kasus korupsi. Inspektur Kabupaten Madiun sebagai tersangka dengan kasus penggunaan anggaran belanja rutin tidak sesuai dengan peruntukannya. Inspektur Kabupaten Bengkalis dijerat sebagai tersangka karena dianggap menggelapkan dana untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap dan Gas. Inspektur Jenderal Kemendes PDTT memberikan uang suap untuk menutupi temuan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Kemendes pada 2015 dan Semester I 2016. Hal ini membuktikan bahwa pelaku korupsi tidak hanya orang-orang elit melalui penyalahgunaan dana pusat namun sudah merambah pada penggunaan dana daerah/desa, dengan melibatkan pejabat daerah/desa.

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yang sudah diwajibkan oleh pemerintah untuk diimplementasikan bagi seluruh kementerian/lembaga/pemda dengan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang ditunjuk sebagai pengawal pelaksanaan anggaran di lingkungannya, memegang peranan penting dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Peran APIP yang efektif akan memberikan keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan, memberikan peringatan dini dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan pemerintahan. Apabila SPIP dan APIP berjalan sesuai tujuan maka kasus korupsi yang terjadi di lingkungan pemerintahan akan dapat dicegah dan dikendalikan.

Peran Masyarakat Dalam Pemberantasan Korupsi

Amanat UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,bahwa tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). Pemerintah telah menerbitkan PP Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peran serta masyarakat tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan hak dan tanggungjawab masyarakat dalam penyelenggaraan negara yang bersih dari tindak pidana korupsi. Dengan peran serta tersebut masyarakat akan lebih bergairah untuk melaksanakan kontrol sosial terhadap tindak pidana korupsi. Peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi diwujudkan dalam bentuk antara lain mencari, memperoleh, memberikan informasi adanya dugaan tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan/KPK mengenai perkara tindak pidana korupsi. Sesuai dengan prinsip keterbukaan dalam negara demokrasi yang memberikan hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, guna memenuhi hak dan tanggungjawab masyarakat untuk menyampaikan fakta dan bukti-bukti kecurangan kepada penegak hukum, tetap harus bertanggungjawab dengan menaati dan menghormati peraturan perundang-undangan yang berlaku, norma agama, kesusilaan, dan kesopanan. Informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat, harus disampaikan secara tertulis, serta harus diklarifikasi dengan gelar perkara oleh penegak hukum dan jawaban lisan atau tertulis oleh penegak hukum atau KPK disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterima. Namun demikian dalam hal tertentu penegak hukum atau KPK dapat menolak memberikan isi informasi atau memberikan jawaban/saran/pendapat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Di samping itu untuk memberikan motivasi kepada masyarakat, dalam usaha membantu upaya pencegahan dan pemberantasaan korupsi maka diatur pula pemberian penghargaan kepada masyarakat yang berjasa berupa piagam dan atau premi. Ketentuan mengenai tata cara pemberian penghargaan serta bentuk dan jenis piagam, ditetapkan dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM. Besar premi ditetapkan paling banyak sebesar 2 (dua permil) dari nilai kerugian keuangan negara yang dikembalikan. Piagam diberikan kepada pelapor setelah perkara dilimpahkan ke Pengadilan Negeri. Penyerahan piagam tersebut dilakukan oleh Penegak Hukum atau KPK. Premi diberikan kepada pelapor setelah putusan pengadilan yang memidana terdakwa memperoleh kekuatan hukum tetap. Penyerahan premi sebagaimana dimaksud dilakukan oleh Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk.

Partisipasi BPKP dalam Pemberantasan Korupsi

Melalui Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014, BPKP bertugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional, diantaranya melakukan kegiatan pencegahan korupsi, audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara, audit penghitungan kerugian keuangan negara, dan pemberian keterangan ahli.

Sebagai salah satu aparat pengawasan intern pemerintah (APIP), BPKP dalam program pemberantasan korupsi tentunya diarahkan pada sektor vital dan rawan terjadi penyimpangan serta sektor pembangunan yang menjadi prioritas pemerintah. Dalam percepatan pemberantasan korupsi, strategi pencegahan korupsi yang dilakukan oleh BPKP, yaitu:

1.    Pre-emptivemerupakan strategi yang diharapkan pada instansi pemerintah dan masyarakat terbangun public awareness agar peduli terhadap masalah penyimpangan pengelolaan keuangan negara dan memahami cara-cara mengatasinya. Strategi ini dilakukan melalui kegiatan-kegiatan sosialisasi, misalnya berupa pengembangan masyarakat pembelajar anti korupsi (MPAK), berupa sosialisasi dan bimbingan teknis program anti korupsi kepada masyarakat, dunia usaha, aparat pemerintahan, dan badan-badan lainnya dan pemberian bimbingan teknis investigasi. MPAK terkait langsung dengan Fraud Control Plan (FCP) dan Sistem Pengendalian Itern Pemerintah (SPIP), yang menghasilkan outcome berupa berkembangnya sistem pengaduan/ whistleblowing (atribut FCP) dan unsur informasi dan komunikasi dalam SPIP.

2.    Strategi preventif merupakan upaya early warning system yang dapat mencegah dan mendeteksi (prevention and detection) perbuatan penyimpangan pengelolaan keuangan sesegera mungkin. Hal ini dilakukan antara lain melalui kegiatan konsultasi, bimbingan teknis dan penyusunan sistem atau pedoman kerja, diantaranya berupa bimbingan teknis FCP, tujuannya untuk mencegah, menangkal, dan memudahkan pendeteksian dan pengungkapan kemungkinan terjadinya korupsi/kecurangan. Efektivitas penyelenggaraan FCP ditentukan oleh keberadaan dan berfungsinya 10 (sepuluh) atribut. Kegiatan yang terhimpun dalam FCP meliputi Sosialisasi FCP, Diagnostic Assessment, Bimbingan Teknis FCP dan Evaluasi atas Implementasi FCP.

3.     Strategi represif merupakan upaya yang dilakukan BPKP dalam pemberantasan korupsi atau penindakan atas penyimpangan pengelolaan keuangan negara melalui audit investigatif, audit penghitungan kerugian keuangan negara, dan pemberian keterangan ahli. Upaya ini dikembangkan lebih lanjut menjadi strategi represif untuk preventif yaitu di mana setiap proses penindakan hukum diikuti dengan evaluasi mendalam agar di masa mendatang penyimpangan tersebut dapat dicegah.

Kesimpulan

Tuntutan reformasi dalam penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) mendapatkan respon dari pemerintah dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Untuk meningkatkan efektivitas dalam pemberantasan korupsi, Pemerintah melakukan perubahan Undang-undang tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun dalam implementasinya belum juga dapat mendongkrak Indeks Persepsi Korupsi (IPK) maupun Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) di Indonesia. Pembentukan Lembaga Ad-Hoc (Komisi Pemberantasan Korupsi) dengan kelebihan kewenangan yang dimilki, yang diharapkan dapat menjadi trigger dalam pemberantasan korupsi, belum juga dapat menciptakan efek jera bagi pelaku korupsi. Meski strategi pemberantasan tindak pidana korupsi baik berupa pre-emptif, preventif, maupun refresif telah diimplementasikan baik oleh KPK, Aparat Penegak Hukum, maupun APIP, justru terjadi kondisi yang anomali. Hal ini terlihat dari tren penanganan kasus oleh KPK dan Aparat Penegak Hukum dengan dampak yang ada, belum memperlihatkan adanya perubahan yang signifikan. Boleh jadi tiga pilar dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN masih sebatas slogan, karena modus kecurangan/korupsi yang terungkap dalam proses persidangan, mengesankan adanya pengabaian nilai-nilai transparansi, akuntabilitas dan partisipasi dalam setiap pengambilan kebijakan. Selain itu, perlu diambil terobosan dalam strategi pre-emptif yaitu tidak hanya kegiatan sosialisasi dan penyebaran informasi melalui media, namun dimasukkan dalam kurikulum pendidikan dasar bahkan sampai pendidikan tinggi, agar kesadaran dan karakter seseorang dapat terbentuk sejak usia dini.

(Penulis adalah Auditor Perwakilan BPKP Provinsi Jawa Tengah) 

   

Daftar Pustaka:

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 29 Tahun 2010 tanggal 31 Desember 2010 tentang Pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

Laporan Pemantauan Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2021 oleh Indonesia Corruption Watch (ICW)

http://triaokta97.blogspot.com/2016/11/perkembangan-lima-teori-fraud.html.

http://www.bpkp.go.id/


 

 


Share   
TENTANG KAMI
Kata Pengantar
Gambaran Umum
Visi Misi
Struktur Organisasi
Sumber Daya Manusia
Sarana Prasarana
Tugas Pokok dan Fungsi
PRODUK LAYANAN BIDANG / BAGIAN
Bidang Akuntabilitas Pemerintah Daerah
Bidang Akuntan Negara
Bidang Investigasi
Bidang Pengawasan Instansi Pemerintah Pusat
Bagian Umum
Bidang Program dan Pelaporan / P3A
DOKUMEN SAKIP
Rencana Strategis
L A K I P / L A P K I N
Perjanjian Kinerja
RENCANA AKSI KINERJA / RENCANA KERJA
DAFTAR INFORMASI PUBLIK
Informasi Berkala
Informasi Serta Merta
Informasi Setiap Saat
Permohonan Informasi Publik
Informasi Yang Dikecualikabn
LHKPN PEJABAT BPKP JATENG
ARSIP BPKP JAWA TENGAH

 

 
 
KALENDER DIKLAT
SITUS TERKAIT
 
 

 

HASIL SURVEL LAYANAN KEPUASAN MASYARAKAT 2023

 

WASPADA PENIPUAN A/N BPKP JATENG

 

LOKASI KANTOR BPKP JATENG
 Jalan Raya Semarang-Kendal KM.12
Kelurahan Wonosari Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang, 50244
Telepon : 024-8662203 (Hunting) . 8662201