KORUPSI
Ditulis oleh : Sukarno W. Sumarto
Dalam suatu kesempatan pada Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi (KNPK) Tahun 2016 di Gedung Balai Kartini, Jakarta, Kamis, 1 Desember 2016, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa bangsa Indonesia menghadapi tiga problem besar, yaitu pertama yang berkaitan dengan korupsi, yang kedua berkaitan dengan inefisiensi birokrasi, dan yang ketiga berkaitan dengan ketertinggalan infrastruktur. Dari pernyataan Presiden, mengisyaratkan bahwa korupsi merupakan musuh terbesar bangsa Indonesia saat ini. Presiden mendukung penuh penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi, baik dari sisi kelembagaan maupun kemandirian. Reformasi internal di institusi kejaksaan dan kepolisian diharapkan menghasilkan penegak-penegak hukum yang profesional. Dalam pemberantasan korupsi bisa berjalan efektif dan tidak berjalan sendiri-sendiri, Kepolisian dan Kejaksaan Agung harus memperkuat sinergi dengan KPK. Namun, kondisi terkini memperlihatkan bahwa penindakan para koruptor masih juga menunjukkan trend peningkatan, hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum selama ini ternyata belum sepenuhnya memberikan efek jera bagi para koruptor. Walau demikian, Presiden meminta seluruh pihak untuk tidak patah semangat. Presiden berharap, bahwa kita harus bekerja lebih keras lagi, lebih komprehensif, dan lebih terintegrasi, serta jangkauan pemberantasan korupsi pun harus mulai dari hulu sampai hilir.
Pernyataan diatas, menunjukkan kegalauan Presiden Joko Widodo melihat kondisi korupsi di Indonesia saat ini yang belum memperlihatkan kemajuan yang berarti. Dalam pemberitaan di media massa, baik media cetak, elektronik, sampai media sosial, mempertontonkan kepada masyarakat Indonesia perilaku korup para penyelenggara negara, bagaimana mereka merampok uang rakyat, melakukan suap maupun gratifikasi, dengan tidak memperlihatkan sikap penyesalan malahan seakan bangga menjadi pesakitan. Tak terkecuali, para penegak hukum yang seharusnya menjadi garda paling depan dalam penegakan hukum, justru ikut berpesta pora dalam penjarahan uang rakyat. Lebih-lebih ketika kita melihat lebih jauh dalam proses peradilan sampai kasus dimaksud mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht). Tak terbayangkan lagi, bagaimana sikap mereka (pesakitan) ketika aparat penegak hukum memberikan vonis ringan, baik berupa hukuman pengembalian uang/denda maupun hukuman badan, seakan drama yang baru saja dimainkan berakhir dengan happy ending. Itulah kondisi hukum di negeri kita tercinta ini, yang konon hukum dianggap sebagai panglima. Sebagaimana dalam konstitusi kita disebutkan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machstaat)”.
Perangkat hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi didasarkan pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bentuk-bentuk kecurangan (fraud) yang biasa terjadi di Indonesia telahdiakomodir didalamnya, misalnya yang terkait dengan kerugian keuangan negara Pasal2 dan3, suap menyuap Pasal5,6,11,12,dan 13, penggelapan dalam jabatan Pasal8, 9dan Pasal10.a,b,c, pemerasan Pasal 12.e, perbuatan curang Pasal7dan Pasal12.h, benturan kepentingan Pasal12.i, dan gratifikasiPasal12.b.
Dalam bidang pencegahan, pemerintah telah menetapkan dasar kebijakan yang jelas tentang kewajiban pencegahan dan penanggulangan korupsi dalam tata kelola pemerintahan melalui peraturan perundang-undangan, yaitu: a). Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014. Stranas PPK diharapkan dapat melanjutkan, mengonsolidasi, dan menyempurnakan apapun upaya dan kebijakan pemberantasan korupsi agar berdampak signifikan bagi peningkatan kesejahteraan, keberlangsungan pembangunan, serta terkonsolidasikannya demokrasi. Stranas PPK penting untuk mengarahkan langkah-langkah pemberantasan korupsi agar ditempuh secara lebih bertahap berkesinambungan, baik dalam jangka pendek (tahunan), menengah (hingga tahun 2014), maupun panjang (hingga tahun 2025); b). Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Pada diktum kesebelas, diantaranya Presiden menginstruksikan kepada Gubernur/Bupati/Walikota untuk menerapkan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik di lingkungan pemerintah daerah dan bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melakukan pencegahan terhadap kemungkinan terjadi kebocoran keuangan Negara baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; c). Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Peningkatan Kualitas Sistem Pengendalian Intern Dan Keandalan Penyelenggaraan Fungsi Pengawasan Intern Dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat. Pada diktum kedua, Presiden menginstruksikan kepada Gubernur/Bupati/Walikota untuk mengintensifkan peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah di lingkungan masing-masing dalam rangka meningkatkan kualitas, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional serta meningkatkan upaya pencegahan korupsi.
Upaya pencegahan yang dilakukan, walau telah melalui dari berbagai penjuru, pemerintah masih juga menghadapi permasalahan/kasus baru terkait penyimpangan dalam pengelolaan keuangan (korupsi/fraud) dan hambatan dalam kelancaran pembangunan, misalnya kasus berindikasi tindak pidana korupsi. Pada periode tahun 2012 - 2016, berdasarkan Laporan Tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah dipublikasikan bahwa di bidang penindakan, jumlah penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan eksekusi dilaporkan sebagai berikut :
Tahun |
Penyelidikan |
Penyidikan |
Penuntutan |
Eksekusi |
2012 Sisa 2011 |
77 kasus |
48 kasus 24 kasus |
63 perkara |
32 perkara |
2013 Sisa 2012 |
81 kasus |
70 kasus 32 kasus |
41 perkara 32 perkara |
44 perkara |
2014 Sisa 2013 |
80 kasus |
58 kasus 37 kasus |
45 perkara 32 perkara |
48 perkara |
2015 Sisa 2014 |
87 kasus |
57 kasus 49 kasus |
62 perkara 33 perkara |
38 perkara |
2016 Sisa 2015 |
96 kasus |
99 kasus 41 kasus |
76 perkara 35 perkara |
81 perkara |
Jumlah
|
421 kasus |
332 kasus 183 kasus |
287 perkara 132 perkara |
243 perkara |
Dari kasus-kasus yang dilaporkan tentunya kesemuanya merupakan kasus yang masuk kategori besar.
Hasil survei Transparancy International(TI) mengenai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Tahun 2016, menunjukan bahwa angka IPK Indonesia adalah 36 atau berada di peringkat 88 dari 168 negara yang disurvei. IPK Indonesia sejajar dengan Mesir, namun apabila dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Indonesia masih di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Dalam periode tahun 2004 sampai dengan tahun 2012, uang negara yang dikorupsi mencapai 39,3 triliun rupiah. Ironisnya, dari nilai tersebut hanya 20% yang disidangkan ke pengadilan, sedangkan sebesar 20% diketemukan tetapi tidak sampai ke pengadilan dan sebesar 60% korupsi yang tercium belum bisa dibuktikan. Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK merupakan bagian dari upaya efektivitas pembuktian dalam persidangan. Dan sampai saat ini sudah tidak terhitung berapa jumlah pejabat negara dan penyelenggara negara yang menjadi korban operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun aparat penegak hukum lainnya. Walau demikian, tindakan tersebut belum juga menyurutkan niat para penyelenggara/pejabat negara untuk melakukan tindakan curang/korupsi.
Penyebab korupsi menurut Donald R. Cressey, Others People Money, A Study in the Social Psychology Of Embezzlement digambarkan sebagai Fraud Triangle, yaitu: a). Motive/niat: kekuatan penggerak yang mengubah dari taat hukum menjadi pelaku fraud, keserakahan, kebutuhan keuangan segera, tekanan keluarga, rasa balas dendam dan ego; b). Opportunity(Perceived)/kesempatan: lingkungan yang mendukung terjadinya fraud, pengendalian intern tidak memadai, dan kesempatan tidak datang dua kali; c). Rationalization/pembenaran: justifikasi perilaku tidak layak, tidak menyangka bahwa mereka akan ditangkap, dan orang lain juga melakukan hal yang sama.
Selain itu, hasil dari berbagai seminar mengenai korupsi,penyebab korupsi dikelompokkan menjadi tiga aspek, yaitu aspek institusi/administrasi, aspek manusia/moralitas, dan aspek sosial/budaya.
Selain upaya pencegahan (preventif), upaya refresif yang dilakukan oleh lembaga pemeriksa/pengawas/penegak hukum baik itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, Kepolisian, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), juga sedang digalakkan. Misalnya, gebrakan yang populer saat ini berupa Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK yang mendapat apresiasi yang baik dari masyarakat. Penetapan-penetapan tersangka baru oleh Kejaksaan maupun Kepolisian, dan digalakkannya audit investigasi oleh BPK maupun BPKP, telah memberi warna baru penegakkan hukum terhadap korupsi di Indonesia. Walaupun trend persepsi korupsi masih relatif lambat pergerakkannya, namun pemerintah melalui aparatur yang ada, tetap optimis bahwa gerakan pencegahan dan pemberantasan korupsi tetap menjadi prioritas
Apabila dilihat dari dampak yang diakibatkan oleh perbuatan korupsi, bahwa korupsi akan merusak sistem tatanan masyarakat, penderitaan sebagian besar masyarakat dalam berbagai sektor, ekonomi biaya tinggi, munculnya berbagai masalah sosial dalam masyarakat, dan sikap frustasi, ketidakpercayaan, dan apatis terhadap pemerintah. Apabila kondisi ini berlanjut dalam kurun waktu yang panjang, maka mengakibatkan negara dan pemerintahan ini akan dikendalikan oleh para koruptor.
Dari gambaran sekilas, belum terlihat adanya kecenderungan penurunan perilaku korupsi di Indonesia, walaupun upaya pre-emptive dan preventif telah dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan berbagai pihak, baik pemuka agama, mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun masyarakat pegiat anti korupsi lainnya. Ibaratnya, badai korupsi di Indonesia seolah masuk dalam kondisi yang anomali. Kelengkapan perangkat yang telah disediakan oleh pemerintah, sudah dapat dibilang cukup memadai, namun tetap saja belum memperlihatkan kondisi yang diharapkan masyarakat. Bisa jadi, pemerintah lebih menggiatkan upaya pembentukan karakter bangsa, karena ke depan yang dibutuhkan adalah manusia yang mempunyai integritas. Dan kini, masyarakat Indonesia masih perlu bersabar karena pembentukan karakter membutuhkan waktu.Walau demikian, seluruh komponen masyarakat untuk tidak patah semangat, terutama komitmen pemerintah untuk selalu menjaga wibawa pemerintah bahwa kita jangan sampai kalah dengan koruptor. Semoga ...
( Penulis adalah Auditor Perwakilan BPKP Provinsi Jawa Tengah)
TENTANG KAMI |
Kata Pengantar |
Gambaran Umum |
Visi Misi |
Struktur Organisasi |
Sumber Daya Manusia |
Sarana Prasarana |
Tugas Pokok dan Fungsi |
PRODUK LAYANAN BIDANG / BAGIAN |
Bidang Akuntabilitas Pemerintah Daerah |
Bidang Akuntan Negara |
Bidang Investigasi |
Bidang Pengawasan Instansi Pemerintah Pusat |
Bagian Umum |
Bidang Program dan Pelaporan / P3A |
DOKUMEN SAKIP |
Rencana Strategis |
L A K I P / L A P K I N |
Perjanjian Kinerja |
RENCANA AKSI KINERJA / RENCANA KERJA |
DAFTAR INFORMASI PUBLIK |
Informasi Berkala |
Informasi Serta Merta |
Informasi Setiap Saat |
Permohonan Informasi Publik |
Informasi Yang Dikecualikabn |
LHKPN PEJABAT BPKP JATENG |
SOP LAYANAN INFORMASI |