Setelah BPPN Dibubarkan

Kemarin (Rabu, 25/2), Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Jakti menyatakan bahwa materi Keppres Pembubaran BPPN telah diselesaikan dalam rapat kabinet terbatas yang dipimpin Presiden Megawati di Istana Negara

Gonjang-ganjing menyangkut kelembagaan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tampaknya akan segera berakhir. Lembaga yang paling banyak disorot dan jadi bahan berita akhir-akhir ini, mulai tanggal 27 Februari ini resmi dibubarkan. Sorotan publik terhadap BPPN, mulai dari seringnya pergantian pimpinan, besarnya asset yang dikelola, hingga jumlah pesangon untuk PHK karyawannya sering menghiasi berita utama di berbagai media. Seperti yang kita maklumi bersama bahwa BPPN dibentuk dengan tugas utama menyehatkan perbankan serta mengelola aset dan liability yang berada di bawah pengampunan BPPN. Kemarin (Rabu, 25/2) seperti yang diungkapkan oleh Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Jakti bahwa materi Keppres Pembubaran BPPN telah diselesaikan dalam rapat kabinet terbatas yang dipimpin Presiden Megawati di Istana Negara. Pembubaran lembaga tersebut sudah pula disetujui para pejabat instansi terkait. \"Rapat tadi telah membenahi proses penyusunan Keppres . Semua sudah setuju, termasuk Bank Indonesia (BI), Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), para menteri, dan BPPN sendiri,” kata Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti usai rapat itu. (Suara Karya 26/2) Lebih jauh Dorodjatun juga menyebutkan, hingga Rabu siang kemarin, Keppres itu belum ditanda tangani. Dijadwalkan Keppres itu ditanda tangani Presiden pada Kamis ini juga karena pada 27 Februari tugas BPPN sudah harus berakhir. Djatun juga mengingatkan, pada 27 Februari itu sudah tidak ada lagi transaksi di BPPN. Setelah itu, yang bertugas di BPPN adalah tim pemberesan yang akan didampingi oleh sekitar 100 orang eks BPPN dan KKSK. Banyak pengamat dan analis yang mengomentari pasca pembubaran BPPN ini. Pande Radja Silalahi dalam tulisannya “Ekonomi Indonesia Pasca BPPN” menyoroti komentar pejabat BPPN menyangkut kinerja BPPN adalah baik, yang tercermin dari tingkat pengembalian kewajiban para debitur terhadap BPPN yang relatif tidak kalah dengan negara tetangga. Menurutnya keberanian BPPN membandingkan kinerjanya dengan negara tetangga yang sama-sama dilanda krisis tanpa memperhitungkan waktu dan hanya nilai nominal adalah luar biasa. “Tega-teganya BPPN membohongi masyarakat dengan mengabaikan perhitungan present value dari kewajiban debitur tersebut” ujar Pande dalam ulasannya. Dikatakannya hanya orang yang buta ekonomi mau menerima argumen seperti yang dikemukakan oleh BPPN itu. Pande juga menyoroti kurangnya transparansi dari BPPN sendiri. Masalah transparansi ini terlalu sering dikemukakan oleh para pengamat, tetapi BPPN kurang memperhatikannya bahkan terkesan membiarkan tercipta dan terpeliharanya daerah kelabu agar mereka dapat bermain di dalamnya. Dalam ulasannya Pande juga mengatakan bahwa transaksi-transaksi yang dilakukan oleh BPPN banyak yang cacat hukum atau dapat dipermasalahkan secara hukum (Media Indonesia, 25/2) Sementara itu peneliti CSIS, Ari A Perdana juga mengulas dalam tulisannya “BPPN, Pelajaran yang Begitu Pahit” (Media Indonesia, 25/2). Dipaparkannya bahwa dalam urusan mengembalikan uang negara, hingga menjelang dibubarkan BPPN mengklaim telah mengembalikan Rp 172,4 triliun aset negara, dari Rp 149 triliun yang ditargetkan oleh pemerintah dan DPR. Jika dibandingkan dengan total biaya penyehatan perbankan yang dikucurkan oleh negara melalui penerbitan obligasi pemerintah sebesar Rp 642 triliun-termasuk Rp 144 triliun yang disalurkan sebagai dana BLBI-artinya hanya sekitar 27 % dari uang negara yang berhasil diselamatkan. Sebanyak 73 % dari dana tersebut hilang. Memang tidak mungkin mengharapkan 100% aset negara akan kembali.Yang mengusik rasa keadilan adalah karena biaya krisis tersebut dipikul oleh rakyat Indonesia lewat APBN. Ari A Perdana menegaskan bahwa pelajaran terbesar yang dapat diambil pasca pembubaran BPPN adalah jangan sampai ada krisis perbankan jilid berikutnya. Berakhirnya tugas BPPN harus diikuti dengan penguatan struktur dan pembenahan sistem perbankan Indonesia. Ini mencakup keberadaan regulasi yang jelas dan tidak menimbulkan moral hazard bagi pelaku ekonomi, pengawasan yang ketat dan tentunya sanksi hukuman yang tegas. Dengan adanya struktur dan sistem perbankan yang lebih baik, kalaupun ada krisis perbankan jilid berikutnya, keberadaan lembaga semacam BPPN bisa dihindari. Alternatif strateginya adalah bank dan pemilik kredit bermasalah dibiarkan untuk melakukan sendiri pengelolaan kredit bermasalah, termasuk restrukturisasi. Pemerintah hanya akan bertindak sebagai fasilitator dan pengambil tindakan hukum. Dari studi yang dilakukan di beberapa negara yang menerapkannya, strategi ini bisa menghasilkan sistem perbankan yang lebih kuat. Salah satu alasannya adalah dalam sistem ini, pengaruh kepentingan politik bisa lebih kecil. “Keberadaan sebuah lembaga super yang mengelola ratusan triliun aset nasional tentu makin mengundang kepentingan politik untuk ikut bermain dalam proses penyehatan perbankan”, ujar peneliti CSIS ini mengakhiri ulasannya. (Anl)