Gaji Pejabat Ditata Ulang

Kontroversi kenaikan gaji tidak menyurutkan rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menata ulang besaran gaji para pejabat. Presiden menegaskan, antara besaran gaji dan beban tanggung jawab yang dipikul pejabat negara, harus pas.

''Gaji yang pantas, uang penyidikan, uang penuntutan, uang sidang segala macam harus pas. Saya sudah panggil Menteri Keuangan, berbicara dengan Wapres, coba lihat struktur gaji sekarang ini. Mungkin, perlu penataan yang baik,'' tegas Presiden. Kepala Negara berbicara soal itu dalam tatap muka dengan para hakim dari empat lingkungan peradilan di Ruang Kusumaatmaja, Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Selasan (20/12). Kedatangan Presiden Yudhoyono dan tatap muka ke MA merupakan pertama kali dalam sejarah pemerintahan di negeri ini. Sebelumnya, mantan Presiden Soeharto sempat mengunjungi MA, namun hanya meresmikan gedung. Presiden mengaku sempat meminta pejabat di bawahnya seperti Ketua MA untuk tidak naik dulu gajinya. ''Tapi, setelah saya lihat, memang, ini agak ... bukan agak ya. Setelah saya lihat, ternyata gaji Ketua MA yang paling rendah dibandingkan gaji Ketua DPR, Ketua MPR, Ketua DPD, dan gaji Presiden,'' papar Presiden yang didampingi Ketua MA, Bagir Manan. Belum lagi, kata Presiden, gaji menteri jauh lebih rendah dibandingkan anggota DPR dan anggota DPD. Namun, kilahnya, gaji guru, petani, dan nelayan diangkat dulu sambil melihat struktur gaji pejabat negara. Wacana perubahan struktur gaji sudah bergulir sejak lama, mengingat ada ketimpangan pendapatan. Ketua KPK, misalnya, bergaji Rp 40 juta per bulan sementara Jaksa Agung hanya Rp 19 juta. Gaji bersih Presiden Rp 60 jutaan, tetapi gaji Dirut Pertamina saja mencapai Rp 150 juta. Bagir Manan menekankan pentingnya kesejahteraan dalam upaya pembaharuan peradilan di tubuh MA. Ia membeberkan besaran gaji yang diterima para hakim mulai dari tingkat paling rendah di tingkat Pengadilan Negeri hingga gajinya sendiri sebagai ketua MA. Ada yang mendukung rencana Presiden untuk mengubah struktur gaji pejabat ini. Tapi, ada juga yang menolak. ''Rencana itu tidak akan efektif,'' kata Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Teten Masduki. Lebih bermanfaat dan efektif, sambungnya, meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi praktik korupsi. Teten menegaskan, korupsi tidak akan berhenti dengan meningkatnya gaji pejabat negara. ''Tanpa ada sistem pengawasan, tak bisa. Jadi, harus disertai restrukturisasi, standardisasi, dan sistem merit," ujarnya. Tapi, mantan Sekjen Transparansi Indonesia (TI), Emmy Hafild, menilai, rencana itu bagus saja, asalkan harus dikaji dulu siapa yang berhak. ''Yang dinaikkan, ya yang bagus kerjanya,'' ujar dia. Kenaikan gaji, menurut Emmy, bukan segalanya. Imbangan terhadap naiknya gaji tetap harus ada, dan pegawai yang salah harus dijatuhi sanksi. ''Bahkan dipecat,'' tegasnya. Emmy percaya, kenaikan gaji tidak secara otomatis meningkatkan kualitas pelayanan dan mengurangi praktik korupsi. Ketua DPR, Agung Laksono, melihat perlunya pembenahan terhadap sistem penggajian pejabat negara. Langkah ini dimaksudkan agar tidak ada pejabat negara yang merasa ditinggikan, atau direndahkan. Agung mengaku terkejut setelah melihat gaji Gubernur Bank Indonesia (BI) yang lebih dari Rp 223 juta per bulan. ''Presiden saja hanya Rp 62 juta sebulan,'' tegasnya. Sumber: Republika, 21/12/05